Minggu, 08 Mei 2016

Berbagai Jenis Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)


Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 5% (1,7 juta) kematian pada anak balita akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sementara pada tahun 1972, sesuai laporan WHO, berdasarkan hasil evaluasi kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, diperkirakan setiap tahun sebanyak 5000 anak meninggal karena difteri dan penemuan kasus difteri tenggorok pada balita sebanyak 28.500 kasus.
Imunisasi sebagai upaya preventif yang harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memutus mata rantai penularan penyakit dan menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak individu itu terpapar oleh dengan penyakit tersebut tidak menderita sakit.
Imunisasi adalah suatu upaya atau proses untuk menimbulkan/ meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu antigen sehingga bila kelak individu itu terpapar oleh antigen serupa tidak akan terjadi penyakit. Tujuan jangka panjang dari upaya pelayanan imunisasi adalah eradikasi atau eliminasi suatu penyakit. Tujuan jangka pendek adalah pencegahan penyakit secara perorangan atau kelompok.
Banyak penyakit yang telah ditemukan vaksin sebagai upaya pencegahannya, tetapi tidak semua diajadikan program imunisasi nasional. Menurut Depkes RI (2005), beberapa pertimbangan untuk memasukkannya kedalam program antara lain adalah besarnya masalah yang ditimbulkan (disease burdens), keganasan penyakit, efektifitas vaksin, dan ketersedian vaksin. Upaya pencegahan penyakit melalui progran imunisasi lebih populer dengan sebutan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
Difteri
Gejala Difteri antara lain panas lebih kurang 38oC disertai adanya pseudo membran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Gejala juga dapat disertai nyeri menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bull neck) dan sesak nafas disertai bunyi (stridor) dan pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman difteri.
Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae; terdiri dari type gravis, mitis, dan intermedius. Gej ala klinik terjadi sebagai akibat kerja dari eksotoksin; masa inkubasi 2—5 hari. Penularan difteri melalui kontak air borne dari orang ke orang dan pada umumnya menyerang golongan umur di bawah 15 tahun. Reservoar difteri hanya manusia. Gejala klinis yang diakibatkannya dapat tidak nyata atau ringan sekali, yaitu berupa sedikit membran dalam rongga hidung (anterior nasal diphtheriae) sampai sangat berat dan dapat menyebabkan kematian (Papaevangelou, 1995).
Tanda khas yang membedakan difteri dengan penyakit saluran pernafasan lainnya adalah dengan terbentuknya pseudomembran dan mengeluarkan eksotoksin. Pseudomembran biasanya timbul lokal tapi kemudian bisa menjalar dari faring, tonsil, laring dan saluran nafas bagian atas. Eksotoksin yang dikeluarkan bakteri akan menyebabkan miokarditis bila sampai di otot jantung dan jika sampai mengenai jaringan saraf perifer akan mengakibatkan paralisis terutama otot-otot pernafasan, nekrosis fokal pada hati dan ginjal yang menyebabkan nefritis interstitial.
Toksin difteri dihasilkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu eksotoksin yang terdiri dari protein. Semua galur toksigenik Corynebacterium diphtheriae akan menghasilkan toksin yang identik. Suatu strain diphtheriae dapat menjadi toksigenik jika terinfeksi terlebih dulu oleh bakteri khusus (particular bakteri virus) yang disebut bakteriofage. Masuknya galur toksigenik Corynebacterium diphtheriae ke dalam suatu komunitas akan menyebabkan wabah difteri dengan cara transfer bakteriofage ke strain nontoksigenik yang berlangsung di saluran nafas.
Pada saat wabah baik strain toksigenik maupun nontoksigenik Corynebacterium diptheriae dapat diisolasi. Toksin Corynebacterium diphtheriae jika dipaparkan terhadap formaldehid dan panas akan kehilangan kemampuannya untuk menempel pada sel dan kehilangan aktivitas enzimatiknya, tetapi tetap mempertahankan sifat imunogenisitasnya. Tindakan inilah yang mengubah toksin diphtheriae menjadi toksoid yang dapat digunakan untuk tujuan imunisasi terhadap penyakit difteri. CFR difteri berkisar antara 5-10% dan mencapai > 20% pada kelompok umur <5 tahun dan >40 tahun. Angka ini hampir tak berubah dalam 50 tahun terakhir.
Difteri ditemukan di seluruh dunia, namun kasus klinis lebih banyak di daerah tropis dan subtropis. Imunisasi difteri pada bayi di Indonesia dimulai tahun 1977 dan pada anak sekolah tahun 1984. Sejak imunisasi di mulai insiden difteri jauh berkurang. Manusia dapat menjadi karier yang asimptomatik. Transmisi secara langsung dari orang ke orang melalui saluran pernapasan. Penularan dari lesi pada kulit atau materi yang tercemar cairan dari lesi kulit atau muntahan kasus difteri jarang terjadi. Penularan dapat terjadi sepanjang basil virulent ada pada lesi, bervariasi antara 2-4 minggu pada kasus yang tidak mendapat pengobatan dengan antibiotik. Seorang karier kronis dapat menebarkan organisme selama 6 bulan atau lebih.
Imunogenitas dan Vaccine Efficacy difteri Setelah 3 dosis primer toxoid dengan interval minimal 4 minggu, pada > 85% sasaran dicapai level protektif antitoxin dalam darah (>0.1 IU/ml). Reaksi lokal KIPI setelah pemberian toxoid umumnya adalah kemerahan (erythema) dan bengkak (indurasi) dengan atau tanpa nyeri, gej ala ini umumnya hilang tanpa memerlukan pengobatan. Benjolan mungkin masih teraba pada tempat suntikan selama beberapa minggu. Abses di lokasi suntikan mungkin terjadi. Demam sering terjadi, gejala sistemik lainnya jarang terjadi. Reaksi hipersensitivitas type arthus, yang ditandai dengan reaksi lokal yang lebih hebat, dapat terjadi, biasanya pada orang yang menerima terlalu banyak dosis difteri toxoid, sebelumnya. Reaksi ini disebabkan oleh tingginya kadar antibodi difteri yang bersirkulasi.
Tetanus
Penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yang terdiri dari tetanus neonatorum dan tetanus. Tetanus neonatorum adalah bayi lahir hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2 hari kemudian timbul gejala sulit menetek disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan exotoxin yang diproduksi oleh Clostridium Tetani. Clostridium Tetani adalah basil batang anaerob, gram positif yang dapat membentuk spora pada salah satu ujungnya, sehingga bentuknya menyerupai pemukul genderang. Organisme ini sensitif terhadap panas dan tidak tahan terhadap oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora, organisme ini sangat tahan terhadap panas maupun antiseptik biasa. Spora bertahan hidup dalam autoclav pada suhu 121OC selama 10 – 15 menit. Spora juga tahan terhadap phenol serta bahan kimia lainnya. Basil tetanus ditemukan di tanah, dalam usus serta tinja kuda, domba, ternak, anjing, kucing, tikus, kelinci dan ayam. Tanah yang dipupuk mengandung banyak spora. Di daerah pertanian, banyak orang dewasa terinfeksi tetanus.
Spora ditemukan pada permukaan kulit. Spora tetanus yang masuk ke dalam luka dapat berkembang biak dalam suasana anaerobik dan membentuk toksin. Reservoarnya adalah usus manusia dan hewan serta tanah yang terkontaminasi kotoran manusia atau hewan. Pada neonatus penyakit ini dikenal dengan tetanus neonatorum yang diakibatkan oleh kuman yang masuk melalui luka pada tali pusat. Gej ala khas berupa kejang rangsang atau kejang spontan; muka tampak menyerigai (rhesus sardonicus), pada bayi mulut terkancing (trismus). Pada kasus yang ringan gej ala tersebut hilang setelah 2—3 minggu. Tanpa program imunisasi, attack rate sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. CFR bervariasi berkisar 30—90%, bergantung pada umur, masa inkubasi, dan pengobatan.
Tetanus disebabkan oleh suatu neurotoksin yang sangat poten, disebut tetanoplasmin yang dihasilkan pada saat tumbuhnya bakteri anaerob Clostridium tetani. Toksin tetanus akan bermigrasi ke susunan syaraf pusat dengan cara transport retrograd melalui syaraf. Toksin tetanus bersifat neurotropik dan akan berikatan dengan reseptor yang mengandung gangliosid pada terminal syaraf. Sekali berikatan dengan jaringan neuron, toksin tetanus tidak dapat dipengaruhi oleh antitoksin tetanus. Toksin ini akan berakumulasi pada susunan syaraf pusat dan menghadang release dari substansi neurotransmiter inhibitori, seperti glysin dan gamma-aminogluteric acid pada synaps neuron. Toksin tetanus sangat toksik. Penyakit ini ditandai oleh kaku seluruh tubuh dan serangan kejang dari otot lurik (otot skeletal). Kaku otot biasanya dimulai dari rahang (rahang terkunci/trismus), leher dan akhirnya seluruh tubuh.
Masa inkubasi rata-rata 8 hari (3-2 1 hari), pada umumnya semakin jauh lokasi luka dari susunan syaraf, semakin panjang masa inkubasinya, semakin pendek masa inkubasinya, semakin tinggi risiko kematiannya. Pada tetanus neonatorum, gej ala umumnya muncul antara 4-14 hari setelah lahir (rata-rata 7 hari). Berdasarkan gejala klinis, tetanus dibedakan atas : Tetanus lokal, Tetanus cephalica, Tetanus gereralisata, Tetanus Neonatorum.
Clostridium Tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka. Pada kondisi anaerob ( kadar oksigen rendah), spora menjelma menjadi bentuk aktif. Toksin, antara lain tetanospasmin diproduksi dan menyebar melalui darah dan cairan limfe. Toksin bekerja pada beberapa tempat, seperti susunan syaraf pusat, ujung motorik, medulla spinalis, otak serta system syaraf simpatik. Manifestasi klinis dari tetanus timbul bila vaksin tetanus mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, menghalangi efek inhibisi. Hal ini berakibat pada kontraksi otot terus menerus dan kejang.
Pertusis
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bardetella pertusis dengan gejala batuk beruntun dan pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Serangan batuk lebih sering pada malam hari. Akibat batuk yang berat dapat terjadi pedarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan di sekitar mata (oedema periorbital). Lamanya batuk bisa mencapai 1-3 bulan dan penyakit ini sering disebut penyakit 100 hari. Pemeriksaan lab pada apusan lendir tenggorokan dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).
Pada fase awal, infeksi pertusis ditandai dengan melekatnya Bordetella pertusis ke epitel bersilia saluran nafas. Gejala awal berupa pilek dan batuk. Mulai hari ke-10 batuk bertambah dan menjadi spasmodik. Komplikasi terbanyak adalah pneumonia yang banyak menimbulkan kematian dan ensefalopati yang meninggalkan kerusakan otak yang menetap. Kematian sering dijumpai pada anak berumur kurang dari satu tahun. Reservoarnya adalah manusia (penderita itu sendiri) dengan penularan melalui percikan ludah (droplet infection). Tanpa program imunisasi, attact rate mencapai 80 per 1.000 kelahiran hidup; yang tertinggi terdapat pada golongan balita. CFR sebesar 0,5% (Galazka, 1993). Toksin pertusis dapat diubah menjadi toksoid pertusis yang nontoksik, tetapi imunogenik (Galazka, 1993).
 Tuberkulosis
Merupakan penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosa menyebar melalui pernapasan lewat bersin atau batuk, gejala awal adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan dapat terjadi batuk darah.
sumber : http://dinkeslumajang.or.id/penyakit-yang-dapat-dicegah-dengan-imunisasi/

1 komentar:

  1. New slot machines found at delaware casino - DrMCD
    the 김해 출장마사지 latest and greatest online slots and 통영 출장마사지 the latest 동해 출장마사지 and greatest slot 구미 출장샵 machines and 사천 출장안마 all new and vintage gaming machines from leading manufacturer Pragmatic

    BalasHapus